Assalamu’alaikum sobat,
Saya baru aja membaca artikel ini di internet, dan saya ingin share ini pada anda pembaca blog dengan harapan agar kita semua bisa lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan SDM dan kemampuan kita.
Baca langsung artikelnya ya… 🙂
—————————————————————–
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah sesuatu yang sudah tidak bisa dihindari lagi. Kita akan banyak melihat produk-produk impor dengan harga yang bersaing. Persaingan usaha akan menjadi semakin ketat, para pengusaha dipaksa untuk lebih inovatif dalam menciptakan produk serta layanan. Di samping itu, para pelaku usaha harus lebih produktif agar dapat bersaing di perdagangan bebas.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak seluruh elemen bangsa, baik Anda yang seorang pengusaha, karyawan, profesional, para pengambil kebijakan, maupun para akademisi untuk melihat kehadiran MEA ini dari sudut pandang sumber daya manusia Indonesia.
Data menunjukkan, ketika MEA dirancang sejak KTT ASEAN di Singapura pada 1992 memiliki tujuan meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN, serta diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah di bidang ekonomi antarnegara ASEAN.
Konsekuensi atas kesepakatan MEA tersebut berupa aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan modal. Hal-hal tersebut tentu dapat berakibat positif atau negatif bagi perekonomian Indonesia.
Saya tidak bermaksud menakut-nakuti, tapi saya ingin mengajak kita semua yang peduli kepada Indonesia untuk mulai memikirkan dan merenungkan beberapa hal berikut:
1. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2015 sebanyak 7,4 juta orang (sumber: Badan Pusat Statistik) dan terjadi penambahan angkatan kerja sebanyak 3 juta orang per tahun rata-rata. Sedangkan penyerapan angkatan kerja berkisar di angka 1 juta orang per tahunnya. Artinya, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mengalami peningkatan.
2. Perusahaan-perusahaan besar yang saat ini membuka lowongan pekerjaan lebih memfokuskan diri mencari karyawan yang berpengalaman dan sudah memiliki kompetensi, karena bagi mereka akan banyak memangkas biaya pelatihan, dan karyawan yang bersangkutan dapat langsung berkontribusi dalam waku yang singkat.
3. Kondisi para lulusan SMK dan universitas yang sebagian besar masih belum siap untuk memasuki dunia kerja yang sebenarnya, sehingga mereka seringkali masuk sebagai trainee atau menjadi karyawan dengan level yang paling rendah. Ditambah lagi permasalahan karakter dan mentalitas yang seringkali membuat sakit kepala para staff HRD di perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan para fresh graduate.
Dalam pertemuan-pertemuan, baik besar maupun kecil, di sana duduk para pengusaha. Pembicaraan yang paling sering dibahas adalah masalah ketenagakerjaan. Seringkali mereka berbicara mengenai peraturan perundang-undangan mengenai gaji minimum, tuntutan dari para karyawan, belum lagi permasalahan seputar SDM lainnya. Hal ini menunjukkan, sudah terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara pasar tenaga kerja dengan penyedia lapangan kerja (ekspektasi versus realitas).
Institusi pendidikan yang ada selama ini hanya berfokus kepada “supply driven” tanpa melihat kebutuhan akan pasar tenaga kerja yang sebenarnya dibutuhkan (demand driven). Sehingga penyedia jasa harus bersusah payah sejak awal proses perekrutan, proses seleksi, hingga proses pelatihan atau orientasi.
Ketika MEA diberlakukan, pasar SDM di Indonesia terbuka bagi para pencari kerja dari negara-negara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Myanmar, Vietnam, Kamboja, Brunei Darussalam, dan Laos. Mereka datang ke Indonesia untuk mencari penghidupan lewat skill yang mereka miliki. Mereka akan bekerja jauh lebih keras dari kita. Mereka akan belajar jauh lebih giat dari kita, karena mereka butuh pekerjaan. Mereka butuh uang.
Lalu apakah yang akan kita lakukan? Apakah kita mau menjadi penonton di rumah sendiri? Menyaksikan bagaimana para pekerja dari luar negeri itu berkarya dan memiliki karier yang baik di tanah kelahiran kita? Atau kita mau menjadi para pekerja yang memegang peranan penting di bangsa ini?
Mari kita membayangkan. Saat ini kita adalah seorang pengusaha yang memiliki produk dan membutuhkan 10 orang salesman untuk dapat menjual produk kita dengan pendapatan Rp 1 miliar per bulan. Lalu datang seorang warga negara Malaysia yang fasih berbahasa Inggris dan Melayu, menawarkan diri untuk melamar menjadi salesman di perusahaan kita dengan gaji lebih besar sedikit, tapi dia mampu mencetak omzet Rp 500 juta sendirian. Manakah yang akan kita pilih? Mempekerjakan 10 orang yang menghasilkan Rp 1 miliar atau mempekerjakan 1 orang yang menghasilkan Rp 500 juta?
Mari kita jujur kepada diri sendiri dan jangan menutup mata. Kualitas SDM kita sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Mereka mendidik generasi mudanya berdasarkan “demand driven”, khususnya dalam hal spesialisasi dalam pekerjaan, kerajinan, kejujuran, integritas, kegigihan, dan keuletan. Di sini keberadaan SDM Indonesia terancam, seperti sedang menunggu bom waktu.
Revolusi mental yang diserukan oleh Presiden Joko Widodo adalah panggilan bagi kita semua. Mari kita bergerak, jangan menopang dagu, jangan bermlas-malasan, buang jauh mental ingin cepat kaya, buang jauh mental tidak mau belajar. Bekerjalah dengan giat, dan jadilah SDM-SDM Indonesia yang berkarakter dan memiliki integritas. Jangan sampai kita menjadi penonton di negeri sendiri, tapi justru mari kita bersaing dengan SDM negara ASEAN lainnya. Mari duduk di posisi-posisi penting di perusahaan-perusahaan milik mereka, dan tunjukkan kepada dunia: Indonesia raya.
Bagi kita semua para pengusaha Indonesia, di depan kita Tuhan sudah menitipkan banyak sekali jiwa-jiwa yang perlu kita selamatkan. Tugas kita bukan hanya saja memberi mereka gaji yang layak, kedudukan yang terhormat, atau fasilitas yang cukup. Tugas di posisi kita saat ini adalah tugas yang mulia, yakni membangun setiap manusia yang Tuhan titipkan di perusahaan yang kita kelola untuk menjadi manusia Indonesia 100 persen manusia dan 100 persen Indonesia.
Jangan salahkan mereka kalau mereka sering bolos, terlambat, tidak produktif, dan ada yang suka korupsi. Namun, mari lihat ke dalam diri kita, apakah kita sudah melatih mereka dan menjadikan mereka manusia yang sesungguhnya atau belum? Yang mereka butuhkan selain gaji dan posisi adalah bimbingan rohani dan makanan jiwani, berupa pendidikan mentalitas yang positif dalam bekerja dan pembangunan karakter yang kuat. Hanya dengan itulah mereka dapat bertahan dan membawa perusahaan Anda menjadi lebih baik. Majulah SDM Indonesia, hiduplah Indonesia raya!
*Sumber : Link